Kisah nyata selalu menarik untuk dijadikan film, karena kehidupan yang begitu dekat dengan keseharian dan masih dapat juga ditelusuri dan diikuti perjalanan hidup dari hari ke harinya, jika netizen pencinta film ingin lebih mengetahui lbih detil lagi mengenai cerita tersebut.
Mungkin jika beruntung, dapat juga berinteraksi dengan para tokoh dalam film tersebut.
Namun selain itu, patut diwaspadai juga kemungkinan hasil akhir cerita yang tidak sesuai harapan.
Seperti misalnya, karena panjangnya durasi waktu perjalanan hidup, terkadang sulit memuaskan penonton akan rasa keinginan mereka terlibat dan mendalami lebih jauh tokoh yang mereka minati. Bisa juga , ada yang merasa kecewa karena durasi waktu adegan tertentu yang menurut mereka layak maupun tidak layak untuk disampaikan kepada penonton.
Hal ini pula yang sempat disampaikan beberapa penonton yang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti acara “screening” film Instant Family , dan dalam beberapa segmen saya sependapat.
Perbedaan Sosial Budaya menjadi bahan diskusi yang menarik
Jalan cerita dibuka dengan pasangan suami istri yang pekerjaannya merenovasi rumah, dan satu pertanyaan sederhana dari keluarga, merubah semuanya.
Tema ini sebenarnya menarik, namun agak aneh.
Mungkinkah ada pasangan yang baru tersadar akan kekosongan hidup, setelah sekian lama menikah hanya karena pertanyaan sesederhana itu?
Mungkin jika dilihat dari kaca mata netizen yang tinggal di Indonesia, hal ini agak aneh , namun kita mesti kembali pada lokasi tempat , dimana banyak pasangan disana yang memang menunda memiliki anak, dengan alasan mengutamakan karir , menunggu hingga mapan , menunggu kesiapan mental dan lain-lain, hal-hal semacam ini adalah lumrah terjadi.
Sehingga wajar, jika “gap” sosial budaya ini sempat membuat beberapa penonton mengernyitkan dahinya .
Kemudian , seperti layaknya pasangan yang membuka pintu baru mengenai sebuah dunia anak-anak dan kehidupan keras jalanan. Pasangan ini juga terhanyut dan terbawa emosi, sehingga dengan mudahnya mengadopsi tiga orang anak.
Dalam adegan ini, pengambilan adegannya agak terlalu padat dan tidak terlihat kedalaman emosionalnya, sehingga prosedur pengadopsian yang teliti dan mendalam, nampaknya tidak terlihat, namun saat diskusi hal ini terbantahkan dengan alasan , pengambilan adegan saat anak-anak tersebut tinggal bersama pasangan ini adalah salah satu proses , yang nantinya baru sah di mata hukum saat evaluasi akhir.
Namun kembali karena “gap” sosial budaya ini, membuat beberapa penontonpun sempat agak terheran-heran.
Komedi membalut banyak adegan film
Jika mengharapkan jalan cerita menjadi sangat serius dan mengharu biru, maka segera dipatahkan oleh banyaknya adegan yang walaupun serius dan fatal , dibuat menjadi ringan dan membuat penonton tertawa.
Namun komentar salah satu penonton membuat saya agak kaget, saat mereka berkata,”hal yang berbahaya seperti itu , kok dijadikan humor ?”
Sayapun tersenyum , mungkin penonton ini baru kali ini melihat film yang seperti ini, namun dalam perjalanan pulang ke rumah, sayapun berpikir, “iya mungkin baiknya film ini direkomendasikan untuk para orang tua yang memiliki anak-anak kecil hingga remaja maupun pasangan muda yang baru maupun siap menerima kehadiran anak-anak. Jadi ilmu parenting dalam film ini relevan masuk dalam kehidupan sehari-hari”
Jika menonton film ini, memang banyak sekali ilmu parenting yang ditemukan , termasuk saat pasangan beradu argumentasi saat memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan sebagai orang tua, menghadapi kelakuan anak-anak.
Saya tertarik sekali melihat segi komedi satir , saat awal pengenalan peran sebagai orang tua dan anak yang masih merupakan masa bulan madu hingga perubahan menjadi sebuah mimpi terburuk .
Kekecewaan , perasaan kegagalan menjadi orang tua dibalut dalam sebuah komedi , namun sayangnya Mark Wahlberg dan Rose Byrne sebagai orang tua kurang begitu mendalami perannya. Terlihat salah satunya saat adegan salah mengidentifikasi pemuda sebagai Jacob. Apabila salah perkiraan lebih tergali lebih dalam lagi, bisa menjadi salah satu “golden scene” dalam film ini.
Secara keseluruhan, saya menyukai film ini karena menempatkan semua pada porsi yang seimbang antara humor , rasa takut , amarah dan parenting.
Namun karena film ini melibatkan banyak emosi, durasi waktu yang diharuskan bagi sebuah film layar lebar, nampaknya membuat film ini menjadi terlalu padat dan agak melelahkan.
Penonton dibuat bergerak terlalu cepat, berpindah dari satu adegan ke adegan yang lain.
Adegan yang sebenarnya penting untuk didalami lebih lanjut emosinya, hanya digambarkan dengan kilasan situasi dalam cerita yang pasangan suami istri sampaikan pada grup pendukung program adopsi ini.
Mungkin idealnya, jika pengambilan gambar dan cerita sarat emosi dibangun agak lebih lambat dan lebih panjang, akan lebih dapat mengena pada emosi penonton, serta membuat mereka lebih memahami ilmu parenting yang sebenarnya sedang dibagikan kepada mereka, namun dalam segi positif dan manis diterima oleh pikiran penonton.
Untuk itu, saya berikan nilai 8.5/10
Sinopsis
Pasangan suami istri mendapatkan diri mereka mengadopsi tiga orang anak, dengan beragam usia dari anak kecil hingga remaja . Tentunya hal ini menimbulkan berbagai masalah dalam membesarkan tiga anak tersebut. Latar belakang budaya yang berbeda, hingga kerapuhan anak-anak membuat mereka semua mengalami banyak tantangan dalam proses pengasuhan, sehingga akhirnya melibatkan keluarga besar mereka.
Masalah merekapun semakin bertambah, saat kehadiran Ibu kandung anak-anak tersebut, yang seolah memberikan kesempatan untuk menyatukan keluarga ini adalah merupakan hal yang mustahil dilakukan.
Apakah ketiga anak tersebut akhirnya memilih untuk kembali ke ibu kandungnya? Atau menetap bersama orang tua asuhnya?
Pemain :Mark Wahlberg, Rose Byrne, Isabela Moner,Margo Martindale,Julie Hagerty dan Octavia Spencer
Sutradara :Sean Anders
Diproduksi :Sean Anders,Mark Wahlber, John Morris, Stephen Levinson
Distribusikan oleh Paramount Pictures