“Rosario” merupakan debut panjang Felipe Vargas yang mengejutkan banyak pengamat film horor. Berangkat dari premis sederhana—seorang wanita yang kembali ke rumah neneknya setelah kabar kematian—film ini berkembang menjadi kisah kelam tentang warisan spiritual, mitologi Afrika-Spanyol, dan pengorbanan keluarga yang berujung teror.
Narasi & Penulisan
Naskah karya Alan Treza adalah salah satu kekuatan utama film ini. Di tengah pasar horor Amerika yang cenderung repetitif, Treza menyuntikkan elemen Palo—tradisi sinkretik yang memadukan spiritualitas Afrika dan Katolik—ke dalam struktur cerita. Ini memberikan layer baru pada narasi: bukan sekadar hantaman jumpscare, melainkan eksplorasi legitimasi ritual, harga yang harus dibayar, dan moralitas di balik kepercayaan turun-temurun.
Treza berhasil memanipulasi ekspektasi penonton. Judul dan premisnya mengarah pada horor religius biasa, namun alurnya mengungkap mitologi gelap Kobayende, entitas mistis yang menuntut tumbal. Pergerakan plot terasa organik—ketakutan tumbuh pelan tapi pasti, sejalan dengan kesadaran Rosario terhadap rahasia keluarga.
Penyutradaraan
Sebagai debut, Felipe Vargas menunjukkan kontrol atmosferik yang luar biasa. Ia paham kapan harus menahan, kapan harus meledak. Kamera bergerak lembut namun gelisah, memanfaatkan ruang domestik—koridor, kamar tidur, altar tua—sebagai labirin psikologis. Penonton dipaksa melihat apa yang tak ingin dilihat.
Vargas tak mengandalkan efek visual bombastis; ia lebih condong pada ketidakpastian, ruang kosong, dan repetisi visual yang memicu paranoia. Ini mengingatkan kita pada pendekatan horor Latin Amerika yang lebih spiritual daripada spektakuler.
Performansi
Emeraude Toubia membawa kedalaman emosional yang mengejutkan. Karakternya bukan tipe final girl klise; ia memancarkan trauma, penyesalan, dan ketakutan terpendam tanpa perlu dialog berlebihan. Chemistrynya dengan karakter ayah juga memperkuat tema besar film: kesetiaan keluarga sebagai senjata sekaligus kutukan.
Ekspresi tubuh, tatapan, dan perubahan mikro emosi menjadikan horornya personal—bukan hanya reaksi terhadap monster.
Sinematografi & Atmosfer
Keputusan untuk memproduksi film di Bogotá memberikan tekstur visual yang unik. Arsitektur lama dengan vibrasi Katolik kolonial menciptakan panggung spiritual yang tepat bagi ritual Palo. Warna-warna hangat nan gelap—merah tanah, coklat, kuning lilin—membangun nuansa sakral sekaligus berbahaya.
Sound design adalah aspek lain yang patut diapresiasi. Bisikan, dentingan altar, dan teriakan emosional tidak pernah terasa eksploitasi; mereka menyatu sebagai bagian dari konteks ritualistik.
Tema & Pesan
Di balik teror yang memanjat, “Rosario” adalah cerita warisan keluarga—bagaimana cinta dapat terdistorsi menjadi pengorbanan yang salah arah. Orang tua ingin anaknya sejahtera, namun ketika doa berubah menjadi ritual, konsekuensinya bisa mengancam generasi berikutnya.
Film ini juga merupakan komentar sosial mengenai bagaimana komunitas imigran mempertahankan tradisi, meskipun konteks modern tak lagi mendukung.
Konteks Industri & Penerimaan
Dirilis pada 2 Mei 2025, film ini berhasil menembus $1.2 juta di box office domestik—angka impresif untuk horror independen. Dengan jalur distribusi festival yang kuat dan buzz sosial media, film ini berhasil menembus percakapan global, terutama di forum horor diaspora.
Kengerian
Yang paling efektif bukanlah wujud Kobayende, melainkan bagaimana sosok orang-orang terkasih menjadi medium kegelapan. Ini menciptakan benturan emosional: siapa yang kita percayai, ketika wajah cinta menjadi topeng maut?
Ketegangan dibangun perlahan, tapi sekali puncak horor muncul, ia menguasai seluruh ruang bioskop—penonton dilaporkan berteriak berkali-kali sepanjang penayangan.
Kesimpulan
“Rosario” adalah kejutan menyenangkan bagi para penikmat horor. Vargas menyajikan ketakutan secara berbudaya, bukan sekadar spektakel. Dengan penceritaan matang, atmosfer ritualistik, dan performa emosional, film ini membuktikan bahwa horor masih punya tempat untuk keaslian.
Ini adalah horor tentang:
-
beban keluarga,
-
warisan tak terlihat,
-
cinta yang salah jalur.
Dan pada akhirnya, rasa hangat keluarga pun masih terasa di balik kegelapan.
Skor: 8.2/10
Film debut yang cerdas, mengganggu, dan emosional.
Penulis Fay dan Anya




































