Human Resource menggambarkan kehidupan Fren, seorang profesional HR yang sedang hamil muda. Dia bekerja dalam kondisi yang sejumlah besar orang bisa sekali merasakan: tuntutan kerja yang tinggi, tekanan dari atasan, proses rekrutmen yang tak pernah berhenti, dan beban tentang masa depan — bukan hanya untuk dirinya, tapi juga keluarganya.
Suaminya adalah seorang wiraniaga, yang meskipun membantu dalam rutinitas harian, juga memikul tantangan moral dan tekanan sosial. Film ini bukan hanya tentang kerja keras, tapi juga beban psikis dari realitas yang makin keras dan tak menentu. Dunia kerja digambarkan bukan sebagai tempat yang mendukung mimpi, tapi seringkali menjadi sumber stres dan konflik batin.
Keunggulan
️ Suasana yang Bener-bener “Kena”
Sutradara Thamrongrattanarit jago banget bikin suasana kerja, rumah, dan dunia luar nyatu jadi satu vibe. Kantor yang dingin, atasan nyolot, ruang rapat yang bikin stres — semua digambarkan realistis banget sampe kita ikut capek nontonnya (in a good way ). Visualnya juga kalem dan agak suram, pas banget buat ngegambarin rasa cemas dan burnout.
Aktingnya Natural & Deket Sama Realita
Fren jadi pusat cerita yang super relatable — keliatan banget rasa cemasnya, galau soal masa depan anaknya, dan usaha kerasnya biar rumah tangganya nggak ambyar meski kerjaan berat banget. Suaminya juga bukan tipe jahat, tapi punya dilema sendiri. Jadi konfliknya terasa manusiawi, bukan drama lebay.
Bikin Mikir Tapi Tetep Nendang
Film ini nunjukin sisi gelap dunia kerja tanpa harus teriak-teriak. Gimana pekerja sering kejebak antara idealisme dan kebutuhan hidup, gimana tekanan kantor bisa ngefek ke keputusan pribadi kayak “siap nggak sih punya anak?”. Real banget — dan yang paling keren, temanya bisa nyambung ke siapa aja, termasuk kita yang lagi belajar survive di dunia kerja sekarang.
Tema ini relevan sekali di banyak negara, termasuk Indonesia, sehingga bisa menjadi jembatan empati global.
Kritik
1. Tempo agak lambat dan sedikit repetitif
Beberapa adegan terasa muter di situ-situ aja — kayak wawancara kerja, makan bareng, atau perjalanan pulang di mobil. Mungkin maksudnya buat nunjukin rutinitas dan stres karakter utama, tapi lama-lama bikin penonton ngerasa, “Oke, udah ngerti maksudnya nih.” Jadi, sebelum emosi film naik ke puncak, mood kita keburu turun duluan.
2. Kadang terlalu “ngawang”
Film ini emang keren karena bikin kita mikir, tapi kadang malah jadi terlalu ambigu. Kita jadi nggak yakin, ini dunia si Fren emang seberat itu, atau cuma perasaan dia yang makin stres? Buat sebagian orang, ending-nya bisa terasa agak samar dan bikin bingung.
3. Visualnya monoton
Warna filmnya soft dan kalem — cocok banget buat tema burnout dan tekanan kerja. Tapi karena banyak scene indoor yang warnanya mirip, lama-lama terasa datar. Bakal lebih mantep kalau ada beberapa adegan yang kontras banget, biar emosi penonton juga naik-turun, nggak flat terus
Film ini memaksa kita bertanya:
“Seberapa besar kita bersedia berkompromi?”, “
Apakah hidup ideal itu nyata?”, dan “
Apakah kita bisa membesarkan anak di lingkungan yang moral sosialnya terasa rapuh atau tidak aman?”.
Bagi penonton di Indonesia, Human Resource bisa sangat resonate:
- banyak yang kerja di perusahaan dengan tekanan,
- banyak yang punya mimpi agar anak bisa sekolah lebih bagus, dan
- banyak yang menjalani rutinitas yang kadang bikin capek jiwa.
Human Resource adalah karya yang tidak sekali-dua kamu akan ingat setelah keluar bioskop.
Ia bukan blockbuster penuh aksi, tapi film yang menahan kamu dengan pertanyaan, ketidaknyamanan, dan keindahan emosi yang lembut tapi tajam.




































