Review Film: A Writer’s Odyssey 2
Antara Imajinasi, Realita, dan Pencarian Jati Diri
Novelis Lu Kongwen hidupnya terpuruk hingga memutuskan untuk menghancurkan novel karyanya sendiri yang berjudul “God Killing”.
Di dalam dunia novel tersebut, sang tokoh utama juga memulai perjalanan perlawanan untuk menentang takdir yang telah ditentukan.
Hadirkan sebuah kisah fantasi yang unik dengan memadukan dunia nyata dan dunia fiksi ciptaan sang tokoh utama, Kongwen (Ding Chengxin)
Setelah mengalami pengkhianatan dan karyanya dibajak, hidup Kongwen berubah drastis.
Ia tenggelam dalam keterpurukan, kehilangan arah, dan semangat berkarya
Namun, titik balik terjadi saat ia justru terseret masuk ke dalam dunia yang ia ciptakan sendiri—sebuah semesta fiksi yang ternyata jauh lebih nyata daripada yang ia bayangkan.
Dalam dunia tersebut, ia berhadapan langsung dengan karakter-karakter rekaan yang mewakili sisi terdalam dari dirinya, termasuk sang antagonis utama: Iblis Rambut Merah.
Chao Deng memerankan Iblis Rambut Merah dengan karisma yang kuat.
Sosok jahat yang tidak hanya ingin hidup abadi, tetapi juga mencoba memanipulasi Kongwen baik dalam dunia novel maupun dunia nyata.
Ia merayu dan menipu dengan satu tujuan: agar Kongwen melanjutkan novelnya yang berjudul God Killing , yang diyakini akan memberikan Iblis Rambut Merah kekuatan tanpa batas.
Di sisi lain, Chan (Yuan Chang), seorang editor atau tokoh industri penerbitan yang pernah mengecewakan Kongwen, kembali mencoba memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi.
Keputusan Kongwen menjadi rumit karena ia tidak hanya mempertaruhkan karyanya, tetapi juga kehidupan orang-orang yang ia cintai.


Review Film
Film ini berhasil membawa penonton menjelajah dua dunia dengan mulus berkat dukungan CGI yang mumpuni dan sinematografi yang memanjakan mata.
Transisi antar dimensi terasa halus dan menyatu, menghadirkan visual yang memukau mulai dari kota modern hingga lanskap dunia fantasi yang kelam dan penuh misteri.
Salah satu kekuatan utama film ini adalah kemampuannya membangun atmosfer yang imajinatif namun tetap emosional.
Penonton tidak hanya diajak untuk menikmati petualangan, tetapi juga diajak memahami konflik batin sang tokoh utama yang terpecah antara kenyataan dan dunia fiksi.
Dari sisi penceritaan, film ini sempat terasa lambat dan klise di awal, terutama ketika menyajikan latar belakang kehidupan Kongwen yang penuh penderitaan.
Beberapa elemen cerita terkesan mudah ditebak dan kurang menggugah emosi.
Namun, saat memasuki paruh kedua, alur cerita berubah drastis menjadi lebih dinamis dan menyentuh.
Konflik antara Kongwen dan ciptaannya menjadi simbol dari konflik internal yang sering dihadapi banyak seniman—antara idealisme, rasa sakit masa lalu, dan keinginan untuk diterima.

Lebih dari sekadar film fantasi
Film ini menyampaikan pesan mendalam tentang hubungan pencipta dan ciptaan, serta bagaimana karya seni bisa menjadi cerminan jiwa pembuatnya.
Kongwen digambarkan sebagai sosok yang tidak hanya harus melawan tokoh jahat, tetapi juga menghadapi ketakutan dan kerapuhannya sendiri.
Proses transformasi emosional ini menjadi inti dari film dan menjadikan pengalaman menontonnya lebih bermakna.
Secara keseluruhan, film ini berhasil menggabungkan elemen fantasi, drama, dan petualangan dalam balutan visual spektakuler.
Meski ada beberapa kekurangan di awal cerita, film ini mampu menebusnya dengan klimaks yang intens dan penuh kejutan.
Bagi penonton yang menyukai kisah tentang realitas yang bersinggungan dengan fiksi serta perjuangan menemukan jati diri, film ini layak untuk ditonton.

Sedikit Kritik
Namun bagi yang menginginkan kesempurnaan gambar , maka akan memberikan kritik antara lain :
-
Sinematografinya kadang terasa terlalu terang dan datar, apalagi buat dunia seindah itu. Harusnya bisa lebih dreamy atau punya tone warna yang bikin perbedaan dunia nyata dan dunia fiksi lebih terasa. Ini juga nyambung ke desain kostumnya yang kurang standout—nggak banyak perbedaan signifikan antara penampilan karakter di dunia nyata dan di dunia novel. Sayang banget, padahal bisa jadi momen eksplorasi visual yang kece.
-
Ritme editing film ini juga agak "terbagi-bagi" alias terlalu sering loncat-loncat, bikin emosi penonton susah nempel. Bisa jadi teralihkan di momen yang harusnya intens. Walaupun begitu, ide ceritanya tetap menarik, dan konsep tentang pencipta yang harus menghadapi ciptaannya sendiri tuh dalem banget. Apalagi pas Kongwen mulai menyadari kalau karakter dalam novelnya sebenarnya adalah refleksi dari dirinya sendiri—sisi gelap, ketakutan, dan luka masa lalu.
-
Soal cerita, emang ada beberapa loophole kecil yang kalau dipikir-pikir bikin bingung. Ini perlunya, harus menonton film ini
Tapi secara keseluruhan untungnya nggak sampai merusak keseluruhan alur. Masih bisa dinikmati banget, apalagi pas masuk ke klimaks di mana realitas dan fiksi mulai blur, dan Kongwen harus memilih untuk berdamai dengan masa lalu atau ngikutin manipulasi karakter yang ia ciptakan sendiri.
Pemulis : Farah dan Nuty




































