Apa jadinya jika dua orang sahabat , Toni (Matthias Schweighöfer) dan Paul (Florian David Fitz) dikarenakan perbedaan pendapat dan ego, memutuskan untuk bertaruh meninggalkan seluruh barang milik mereka?
Banyak yang mengatakan, saat seseorang terlalu banyak minum, kejujuranlah yang sebenarnya terungkap. Kejujuran atau hanyalah sebuah pelepasan kalimat karena kehilangan daya nalar?
Namun premis cerita kali ini memang menarik, karena akibat taruhan itu, kedua sahabat ini keesokan harinya, terbangun dalam keadaan polos, tanpa busana apapun dalam kamar mereka masing-masing. Rupanya taruhan yang mereka ucapkan saat dalam keaadaan mabuk ini, ditanggapi serius oleh kolega kerja mereka dan merekalah yang mengatur semuanya sehingga ketika kedua sahabat ini sadar dari mabuknya, terbangun dalam kondisi seperti ini, polos dan tanpa busana apapun.
Melalui premis yang kocak ini, penonton mulai dibawa mentertawakan kedua sahabat ini yang berusaha bertahan hanya dengan satu barang tambahan setiap harinya yang dapat mereka ambil dari barang-barang milik mereka. Jika ketahuan melanggar, maka pemenangnya akan memperoleh seluruh saham perusahaan milik yang kalah plus dapat membagikan secara merata untuk kolega dan karyawan.
Lebih lanjut diperlihatkan hubungan erat mereka berdua, serta watak masing-masing. Paul seorang penemu dan otak dari perusahaan, namun polos dan lugu secara pemikiran. Toni seorang oportunis dan dengan jeli selalu melihat segala celah kemungkinan untuk mendapatkan sesuatu, dengan segala macam cara. Toni biasanya selalu berhasil sebagai pemenang , meninggalkan Paul yang dengan perlahan tapi pasti mengikuti sesuai ritme waktunya , namun dalam ritme waktunya itu , ia sering kali menemui hal-hal menarik dan seolah menjadi pemberi ide bagi tindakan Toni di kehidupan nyatanya.
Bisa dikatakan kedua sahabat ini saling melengkapi , dan tidak terpisahkan.
Namun dikarenakan taruhan ini, tanpa sadar keduanya melihat sosok baru dari sahabatnya ini. Sosok yang selama ini disembunyikan, dimaklumi , namun kali ini seolah tidak dapat ditutupi lagi dan sosok yang sering disembunyikan dan dimaklumi ini menjadi sebuah masalah bagi hubungan persahabatan mereka. Berdua seolah mereka terbangun dari mimpi dan mulai merasa tidak nyaman satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan suatu perpecahan.
Namun nampaknya , Florian David Fitz, penulis dan sutradara film 100 things ini, ingin membawa alur cerita ini ke satu tingkat lebih tinggi lagi, yaitu mengkritik kondisi sosial kehidupan manusia saat ini yang tak lepas dengan “alat elektroniknya” , serta juga masalah paten penemuan. Jika mengikuti dengan seksama, penonton akan selintas berpikir, mengenai sebuah sosial media yang saat ini telah mendunia, dan sedang berproses untuk memiliki mata uang sendiri. Sebuah sosial media yang mampu berevolusi mengikuti perubahan masa dan waktu. Nampaknya ini adalah kritik yang hendak disampaikan, selain juga kehidupan natural yang saat ini sedang digaungkan di benua Eropa.Kembali ke alam, dengan hidup organik dari semua hasil yang ditanam dan dipanen sendiri.Serta tentu saja, kritik sosial kehidupan manusia saat ini yang sarat dengan konsumerisme .
Fokus pada isyu global ini pun, membuat kedua sahabat ini kembali bersatu dan bersama-sama mentertawakan kebodohan mereka berdua, termasuk masalah “perusahaan” dan ide Paul mengenai teknologi sederhana, namun dapat berubah menjadi sesuatu yang berharga jika dipegang di tangan pebisnis seperti Toni.
Secara keseluruhan film ini mampu menawarkan sebuah hiburan lucu dan tidak membosankan. Membuat para penontonnya kembali memesan tiket untuk menonton kembali, di saat acara Festival Film Europe on Screen 2020
Kategori: reviews
This was a very wonderful article. 15925564